Di sini pun diselenggarakan judi secara bebas, ramai

Namun, akhirnya visa diperoleh juga.

Saya pun dapat Sebaliknya pengalaman lucu saya alami waktu Kompas seorang koresponden di sana.

Selain di kota Pontianak, saya asli, tapi saya tidak bersedia merubah nama yang diberi menunaikan ibadah umrah.

menugaskan saya ke Kalimantan Barat tahun 1980-an mencari masuk sampai ke pedalaman hulu sungai Kapuas.

Waktu menyelusuri desa-desa di tengah hutan di pinggir sungai, bersua sebuah desa terdiri cuma enam rumah sangat seder- hana: dinding kulit kayu, atap dedaunan.

Penduduknya ber sahaja.

Di sini pun diselenggarakan judi secara bebas, ramai

Saya takjub! Di desa tersebut terdapat gereja Katolik cukup memadai.

Lebih takjub lagi, saya melihat pemimpin formal penduduk panutan mereka, seorang suster kulit putih asal Swiss.

Sebelum ke lapangan, perempuan ini beroleh pen didikan di seminari Malang.

Dia mempelajarinya sosial budaya, tata krama, way of life suku Dayak.

Itu contoh dari banyak desa pedalaman Kalimantan yang pimpinan formalnya pastor non-pribumi, bukan Kepala Desa.

Apa yang saya kagumi? Jauh-jauh dari negerinya seperti Italia yang amat modern, kok mau mengabdi di pedalaman terpencil dengan penduduk yang relatif masih primitif.

Lalu, saya membandingkan dengan para da'i.

Apakah mereka juga bisa kerasan berdakwah di tengah-tengah desa terpencil selama bertahun-tahun jauh dari fasilitas listrik, televisi dan telepon seperti di Kepulauan Mentawai atau pedalaman Irian Akibat nama dan tempat saya bekerja itu, saya welcome di tiap gereja pedalaman.

Diberi fasilitas menginap dan makan- minum.

Agar tetap taat dan tak meninggalkan kewajiban salat lima waktu, diam-diam saya sembahyang barat matahari terbenam dengan dalam kamar tum- pangan itu.

Kiblat di negeri khatulisiwa ini saya arahkan ke Tetapi kenapa saya bernama Pandoe? Ini ada kaitannya sebuah cerita lain.

Yaitu karena di Lawang terdapat 19 ermain, Sekolah, dan Mengaj Bukit Ambacang, dua kilometer di utara kota banyak ora kampung tumpah ke sana.

Perbukitan sekeliling arena pacuan bagai dibungkus penonton dengan pakaian warna-warni.

Kami membawa nasi dan makanan lainnya, agar tidak mem- beli mahal.

Di sela-sela penonton terdapat tempat orang berjudi dadu (koprok).

Judi seperti tidak dilaran Malamnya dilangsungkan pasar malam dengan macam- macam atraksi dan promosi.

Di sini pun diselenggarakan judi secara bebas, ramai.

Hampir setiap orang yang ke Bukittinggi, menginap di rumah engku Marsai.

Istrinya, Bitik perempuan Kranji Betawi ini ramah sekali Orang kampung, tercengang melihat benderang lampu listrik.

Kami tahunya, lampu pakai minyak tanah.

Kami tahunya, lampu pakai minyak tanah

Melalui kabelkah minyak disalurkan? Jalan raya beraspal, kami me- namakan labuah batembok, Artinya, jalan yang dibeton.

Nama nya orang udik! YANG sangat terkenang, betapa saya lebih dimanjakan oleh nenek.

Hampir tiap malam saya tidur dengan beliau.

Dan dimanja pula oleh bako, adik perempuan Bapak.

Di rumah bako keinginan bisa selalu dipenuhi.

Mau makan enak? Dibikinkan telor mata sapi atau ayam goreng.

Comments

Popular posts from this blog

Catering Jogja Murah : Cara Memilih Ham Paskah

Sewa Bus : Petualangan Perjalanan wisata di California

Catering : Kenikmatan Sup Iga Pedas yang Segar dan hangat